Jumat, 28 Maret 2014

MENGURAIKAN SISTEM DAN PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)



UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
2014

Follow Us : @FEUSNI






MENGURAIKAN SISTEM DAN PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
1.    Pengertian penelitian
a.    Pengertian penelitian
b.    Tata cara melakukan penelitian
c.    Pengertian Surat Tagihan Pajak (STP)

2.    Pembeda Surat Tagihan Pajak (STP)
a.    STP Bunga
b.    STP Denda
c.    STP Pajak
d.    Pengertian pajak dalam pasal 14 ayat 1 huruf a
e.    Pengertian pajak dalam pasal 14 ayat 1 huruf b
f.     Sanksi terkait

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat padat. Dimana setiap warga negara yang memenuhi syarat secara hukum, wajib untuk membayar pajak secara langsung maupun tidak langsung. Apabila semua wajib pajak bersedia memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak, tentunya akan semakin besar pula pendapatan yang masuk dari sektor pajak. Karena sumber pendapatan terbesar Indonesia berasal dari sektor pajak. Untuk meningkatkan penerimaan Pajak diperlukan adanya peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat di bidang perpajakan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.. Dalam Undang-Undang tersebut dikenalkan sistem pemungutan pajak yang baru yaitu self assessment sistem yang mulai berlaku pada tahun 1984. Dengan sistem tersebut bertujuan memberikan kepercayaan sebesar-besarnya kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta Wajib Pajak dalam  memenuhi kewajibannya dibidang perpajakan.
Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut pengamatan penulis ada dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan materiil.
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan formal dalam undang-undang perpaja-kan. Kepatuhan materiil adalah keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakikat memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai isi undang-undang perpajakan.
Eksistensi SPT dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment merupakan suatu hal yang mutlak, sebab tanpa SPT maka sistem perpajakan yang menganut self assessment akan berubah menjadi official assessment,  dimana perhitungan jumlah pajak yang terutang hanya akan didasarkan pada perkiraan fiskus semata-mata. Penetapan Pajak oleh fiskus dalam kondisi karena Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT walaupun telah ditegur dan diperingatkan disebut sebagai penetapan secara jabatan atau  penetapan secara ex-officio. Jika Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT tepat pada waktunya diancam dengan sanksi administrasi berupa denda administrasi. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar diancam dengan sanksi pidana.  Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan hukum atau tax evasion. Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of  income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan ini melanggar baik jiwa atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang perpajakan.
Dalam system self assessment, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sebagai konsekuensi pemberian kepercayaan tersebut, wajib pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan berikut keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan yang telah diisi secara benar, lengkap dan jelas. Undang-undang KUP memberikan wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan wewajibkan instansi, pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini memunginkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan  yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar.
Di samping itu negara kita dituntut untuk terus melakukan perbaikan disegala bidang salah satunya adalah dengan terus melakukan pembangunan.yang dananya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Komposisi APBN terdiri dari Penerimaan Dalam  Negeri dan Penerimaan Pembangunan. Pendapatan Dalam  Negeri terdiri dari pendapatan dari sektor migas dan nonmigas, Sedangkan penerimaan pembangunan terdiri bantuan program.
Berbagai strategi diupayakan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, baik peraturan perundang-undangan perpajakan, sistim pemungutan pajaknya, maupun aparatur pajaknya dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak.
Peraturan perpajakan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1984 mengalami perubahan secara total dan menyeluruh dalam Undang-Undang Perpajakan Nasional yang dikenal dengan Tax Reform yang melahirkan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang tersebut dikenalkan sistim pemungutan pajak yang baru yaitu self assessment system yang mulai berlaku pada tahun 1984. Sistem self assessment mengharuskan Wajib Pajak (WP) untuk mendaftarkan diri pada Kantor Dirjen Pajak setempat untuk dicatat dan mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Selanjutnya Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk secara aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya melalui Surat Pemberitahuan (SPT). SPT ini dapat diambil oleh Wajib Pajak secara cuma-cuma. Pemberlakuan sistem ini bertujuan memberikan kepercayaan sebesar-besarnya kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya dibidang perpajakan. Tujuan lain dari pemberlakuan sistem ini adalah untuk menghindari pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang terlalu membebani Wajib Pajak.Konsekuensi dari diberlakukannya sistem ini, masyarakat dituntut untuk benar-benar mengetahui dan memahami tatacara penghitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajaknya. Sebagai contoh adalah bagaimana menghitung besarnya pajak terutang, kepada siapa pajak dibayarkan, apa yang terjadi jika salah hitung dan bagaimana tindak lanjut untuk mengatasinya, serta sanksi apa saja yang diberikan apabila melanggar ketetapan perpajakan.

Kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu  kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, dan tarif pajak (Devano dan Rahayu, 2006).


MENGURAIKAN SISTEM DAN PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)

A. PENGERTIAN PENELITIAN
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulis dan penghitungannya. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.

B.  TATA CARA MELAKUKAN PENELITIAN

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak setelah meneliti data administrasi perpajakan atau setelah melakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak.

C.  PENGERTIAN SURAT TAGIHAN PAJAK

Pengertian STP ( Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 ) STP adalah surat yang digunakan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
Fungsi STP :

1.    Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak.
2.    Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.
3.    Sarana untuk menagih pajak.

Jenis administrasi yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak: 
1.   Denda administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh dan.

  1. Denda administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
  2. Denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha yang tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, PKP yang tidak membuat atau tidak lengkap mengisi Faktur Pajak.
  3. Bunga, bagi Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan sehingga mengakibatkan kurarng bayar.
  4. Bunga, bagi Wajib Pajak yang terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya.

Pembeda STP

Apa yang menyebabkan dikeluarkannya STP?
Sebab Dikeluarkannya STP : (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).

  1. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar .
  2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung.
  3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.
  4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.


Surat Tagihan Pajak Bunga

Surat Tagihan Pajak (STP) Bunga/Denda Penagihan bisa dikatakan sebagai bunga atas bunga, kenapa? karena dasar pengenaan STP adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding danPutusan Peninjauan Kembali yang dalam nilai ketetapan tersebut telah mengandung unsur sanksi administrasi berupa bunga.

STP Bunga/Denda Penagihan adalah timbul apabila : i) pajak yang masih harus dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, ii) Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran/pelunasan utang pajak, iii) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan iv) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian.

Dasar hukum pengenaan STP Bunga/Denda Penagihan

1. Pasal 19 Ayat (1)
 “Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bungasebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.
 2. Pasal 19 Ayat (2)
“Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.


 3. Pasal 25 ayat (9)
“Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.
 4. Pasal 27 Ayat (5d)
“Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.

Berdasarkan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 25/PJ/2008 Tentang Bentuk Dan Isi Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak Dan Surat Tagihan Pajak, bagian petunjuk pengisian nota perhitungan STP Bunga/Denda Penagihan, peruntukan Pasal 19 ayat (1) KUP dan Pasal 19 Ayat (2) KUP adalah untuk menghitung STP Bunga Penagihan dari SKPKB atau SKPKBT yang terlambat dan/atau kurang bayar atau mendapat ijin untuk mengangsur atau menunda pembayaran/pelunasan utang pajak atau SK Keberatan, Put.Banding dan Put.Peninjauan Kembali tahun pajak sebelum tahun 2008. Sedangkan Pasal 25 Ayat (9) KUP dan Pasal 27 Ayat (5d) KUP adalah untuk mengenakan denda atas Surat Keputusan Keberatan tahun pajak 2008 dst. atau Putusan Banding tahun pajak 2008 dst. yang ditolak atau diterima sebagian.


Saat jatuh tempo pembayaran pajak adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan SKPKB atau SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali. Tarif sanksi bunga adalah 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Jika jumlah bulan untuk menghitung sanksi bunga dalam SKP/STP adalah maksimal 24 bulan, maka dalam menghitungan sanksi bunga penagihan jumlah bulan yang dapat diperhitungkan tidak dibatasi, artinya dapat lebih dari 24 bulan tergantung kapan Wajib Pajak melunasi utang pajaknya atau kapan pengenaan sanksi bunga tersebut dibuat. Saat pembuatan STP Bunga Penagihan adalah Bulan Juni dan Desember dalam setiap satu tahun dua kali.
 Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU No. Tahun 2009 tentang KUP pengenaan sanksi bunga penagihan hanya dapat dikenakan kepada  SKPKB atau SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Put. Banding dan Put. Peninjauan Kembali, sedangkan atas STP (misal atas STP Pasal 25)  tidak dapat dikenakan sanksi bunga penagihan.

Contoh  berdasarkan penjelasan Pasal 19 Ayat (1) KUP
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar                                     = Rp 10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan             = Rp   6.000.000.00
Kurang dibayar                                                                = Rp    4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00)           = Rp         80.000,00

Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar                                            = Rp    10.000.000.00
Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan                                 = Rp    10.000.000.00
Kurang dibayar                                                                       = Rp                    0,00

Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00)                = Rp         200.000,00




Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 19 Ayat (2) KUP
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib  Pajak tersebut diperbolehkan  untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:

angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000.00                   = Rp 22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp   896.000.00                  = Rp 17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp   672.000,00                  = Rp 13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp   448.000.00                  = Rp   8.960.00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp   224.000,00                  = Rp   4.480,00.

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00= Rp112.000.00.
Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 25 Ayat (9) KUP
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan  jumlah  pajak  yang  masih  harus  dibayar  sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.

Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 27 Ayat (5d) KUP
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan  jumlah  pajak  yang  masih  harus  dibayar  sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000.00) = Rp250.000.000,00.

MENGENAL SANKSI PAJAK
Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka  pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.


Ada 2 macam Sanksi perpajakan
1.   Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a.   Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari     jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.

 b. Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.


 
c.   Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.


 
2.   Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar