UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
2014
Follow Us : @FEUSNI
MENGURAIKAN SISTEM DAN PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
1.
Pengertian
penelitian
a.
Pengertian
penelitian
b.
Tata
cara melakukan penelitian
c.
Pengertian
Surat Tagihan Pajak (STP)
2.
Pembeda
Surat Tagihan Pajak (STP)
a.
STP
Bunga
b.
STP
Denda
c.
STP
Pajak
d.
Pengertian
pajak dalam pasal 14 ayat 1 huruf a
e.
Pengertian
pajak dalam pasal 14 ayat 1 huruf b
f.
Sanksi
terkait
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penduduk yang sangat padat. Dimana setiap warga negara yang memenuhi
syarat secara hukum, wajib untuk membayar pajak secara langsung maupun tidak
langsung. Apabila semua wajib pajak bersedia memenuhi kewajibannya untuk
membayar pajak, tentunya akan semakin besar pula pendapatan yang masuk dari
sektor pajak. Karena sumber pendapatan terbesar Indonesia berasal dari sektor
pajak. Untuk meningkatkan penerimaan Pajak diperlukan adanya peningkatan
kesadaran dan kepedulian masyarakat di bidang perpajakan. Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.. Dalam
Undang-Undang tersebut dikenalkan sistem pemungutan pajak yang baru
yaitu self assessment sistem yang mulai berlaku pada tahun 1984.
Dengan sistem tersebut bertujuan memberikan kepercayaan sebesar-besarnya kepada
masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajibannya dibidang perpajakan.
Kepatuhan perpajakan dapat
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut pengamatan penulis ada
dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan materiil.
Kepatuhan
formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan
secara formal sesuai dengan ketentuan formal dalam undang-undang perpaja-kan.
Kepatuhan materiil adalah keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakikat
memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai isi undang-undang
perpajakan.
Eksistensi SPT dalam sistem perpajakan
yang menganut self assessment merupakan suatu hal yang mutlak, sebab tanpa SPT
maka sistem perpajakan yang menganut self assessment akan berubah menjadi
official assessment, dimana perhitungan
jumlah pajak yang terutang hanya akan didasarkan pada perkiraan fiskus
semata-mata. Penetapan Pajak oleh fiskus dalam kondisi karena Wajib Pajak tidak
menyampaikan SPT walaupun telah ditegur dan diperingatkan disebut sebagai
penetapan secara jabatan atau penetapan secara ex-officio. Jika Wajib Pajak
tidak menyampaikan SPT tepat pada waktunya diancam dengan sanksi administrasi
berupa denda administrasi. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang
isinya tidak benar diancam dengan sanksi pidana. Ketidakpatuhan secara
bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan hukum atau
tax evasion. Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah
perbuatan melanggar undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah
penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of
income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang
sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion
yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak sama sekali tidak melaporkan
penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan ini melanggar baik jiwa
atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang perpajakan.
Dalam system self assessment, wajib
pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan
sendiri besarnya pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Sebagai konsekuensi pemberian kepercayaan
tersebut, wajib pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan berikut keterangan
dan/atau dokumen yang harus dilampirkan yang telah diisi secara benar, lengkap
dan jelas. Undang-undang KUP memberikan wewenang kepada Direktorat Jenderal
Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan wewajibkan instansi, pemerintah,
lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Ketentuan ini memunginkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui
ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh
masyarakat untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan
yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakan secara
benar.
Di samping itu negara kita dituntut
untuk terus melakukan perbaikan disegala bidang salah satunya adalah dengan
terus melakukan pembangunan.yang dananya diambil dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Komposisi APBN terdiri dari Penerimaan Dalam
Negeri dan Penerimaan Pembangunan. Pendapatan Dalam Negeri terdiri
dari pendapatan dari sektor migas dan nonmigas, Sedangkan penerimaan
pembangunan terdiri bantuan program.
Berbagai strategi diupayakan untuk
meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, baik peraturan perundang-undangan
perpajakan, sistim pemungutan pajaknya, maupun aparatur pajaknya dalam hal ini
adalah Kantor Pelayanan Pajak.
Peraturan perpajakan di Indonesia pada
tanggal 1 Januari 1984 mengalami perubahan secara total dan menyeluruh dalam
Undang-Undang Perpajakan Nasional yang dikenal dengan Tax Reform yang
melahirkan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang tersebut
dikenalkan sistim pemungutan pajak yang baru yaitu self assessment system yang
mulai berlaku pada tahun 1984. Sistem self assessment mengharuskan Wajib Pajak
(WP) untuk mendaftarkan diri pada Kantor Dirjen Pajak setempat untuk dicatat
dan mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Selanjutnya Wajib Pajak diberi
kepercayaan untuk secara aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak
terutangnya melalui Surat Pemberitahuan (SPT). SPT ini dapat diambil oleh Wajib
Pajak secara cuma-cuma. Pemberlakuan sistem ini bertujuan memberikan
kepercayaan sebesar-besarnya kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan
peran serta Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya dibidang perpajakan. Tujuan
lain dari pemberlakuan sistem ini adalah untuk menghindari pelaksanaan
administrasi dan birokrasi yang terlalu membebani Wajib Pajak.Konsekuensi dari
diberlakukannya sistem ini, masyarakat dituntut untuk benar-benar mengetahui
dan memahami tatacara penghitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pelunasan pajaknya. Sebagai contoh adalah bagaimana menghitung besarnya
pajak terutang, kepada siapa pajak dibayarkan, apa yang terjadi jika salah
hitung dan bagaimana tindak lanjut untuk mengatasinya, serta sanksi apa saja
yang diberikan apabila melanggar ketetapan perpajakan.
Kemauan
membayar pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi sistem
administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan
hukum perpajakan, dan tarif pajak (Devano dan Rahayu, 2006).
A. PENGERTIAN PENELITIAN
Pembeda STP
Surat Tagihan Pajak Bunga
MENGURAIKAN SISTEM DAN
PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
A. PENGERTIAN PENELITIAN
Penelitian adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulis dan
penghitungannya. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
B. TATA
CARA MELAKUKAN PENELITIAN
Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Tagihan Pajak setelah meneliti data administrasi perpajakan
atau setelah melakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau
Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak.
C. PENGERTIAN
SURAT TAGIHAN PAJAK
Pengertian STP ( Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 ) STP adalah surat yang digunakan untuk melakukan
tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat
Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
Fungsi
STP :
1. Sebagai
koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak.
2. Sarana
untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.
3. Sarana
untuk menagih pajak.
Jenis administrasi yang ditagih dengan
Surat Tagihan Pajak:
1. Denda
administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan
SPT Masa PPh dan.
- Denda
administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
- Denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha
yang tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, PKP yang
tidak membuat atau tidak lengkap mengisi Faktur Pajak.
- Bunga, bagi Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT
Tahunan sehingga mengakibatkan kurarng bayar.
- Bunga, bagi Wajib Pajak yang terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya.
Pembeda STP
Apa yang menyebabkan dikeluarkannya STP?
Sebab
Dikeluarkannya STP : (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).
- Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar .
- Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan
terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah
hitung.
- Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi
berupa denda dan/atau bunga.
- Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP
tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi
tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu
atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.
Surat Tagihan Pajak Bunga
Surat Tagihan Pajak (STP) Bunga/Denda
Penagihan bisa dikatakan sebagai bunga atas bunga, kenapa? karena dasar
pengenaan STP adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding danPutusan
Peninjauan Kembali yang dalam nilai ketetapan tersebut telah mengandung unsur
sanksi administrasi berupa bunga.
STP Bunga/Denda Penagihan adalah
timbul apabila : i) pajak yang masih harus dibayar pada saat jatuh tempo
pelunasan tidak atau kurang dibayar, ii) Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur
atau menunda pembayaran/pelunasan utang pajak, iii) Dalam hal keberatan Wajib
Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan iv) Dalam hal permohonan banding
ditolak atau dikabulkan sebagian.
Dasar hukum
pengenaan STP Bunga/Denda Penagihan
1. Pasal 19
Ayat (1)
“Apabila Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh
tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bungasebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.
2.
Pasal 19 Ayat (2)
“Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan
mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang
masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.
3.
Pasal 25 ayat (9)
“Dalam hal keberatan Wajib Pajak
ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan”.
4.
Pasal 27 Ayat (5d)
“Dalam hal permohonan banding ditolak
atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.
Berdasarkan lampiran
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 25/PJ/2008 Tentang Bentuk Dan Isi Nota
Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak Dan Surat Tagihan Pajak, bagian petunjuk
pengisian nota perhitungan STP Bunga/Denda Penagihan, peruntukan Pasal 19 ayat
(1) KUP dan Pasal 19 Ayat (2) KUP adalah untuk menghitung STP Bunga Penagihan
dari SKPKB atau SKPKBT yang terlambat dan/atau kurang bayar atau mendapat ijin
untuk mengangsur atau menunda pembayaran/pelunasan utang pajak atau SK
Keberatan, Put.Banding dan Put.Peninjauan Kembali tahun pajak sebelum tahun
2008. Sedangkan Pasal 25 Ayat (9) KUP dan Pasal 27 Ayat (5d) KUP adalah untuk
mengenakan denda atas Surat Keputusan Keberatan tahun pajak 2008 dst. atau
Putusan Banding tahun pajak 2008 dst. yang ditolak atau diterima sebagian.
Saat jatuh tempo
pembayaran pajak adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan SKPKB atau
SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan
Kembali. Tarif sanksi bunga adalah 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan
atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
Jika jumlah bulan
untuk menghitung sanksi bunga dalam SKP/STP adalah maksimal 24 bulan, maka
dalam menghitungan sanksi bunga penagihan jumlah bulan yang dapat
diperhitungkan tidak dibatasi, artinya dapat lebih dari 24 bulan tergantung
kapan Wajib Pajak melunasi utang pajaknya atau kapan pengenaan sanksi bunga tersebut
dibuat. Saat pembuatan STP Bunga Penagihan adalah Bulan Juni dan Desember dalam
setiap satu tahun dua kali.
Berdasarkan
Pasal 16 ayat (1) UU No. Tahun 2009 tentang KUP pengenaan sanksi bunga
penagihan hanya dapat dikenakan kepada SKPKB atau SKPKBT, SK Keberatan,
SK Pembetulan, Put. Banding dan Put. Peninjauan Kembali, sedangkan atas STP
(misal atas STP Pasal 25) tidak dapat dikenakan sanksi bunga penagihan.
Contoh berdasarkan
penjelasan Pasal 19 Ayat (1) KUP
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008,
dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai
dengan tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember
2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih
harus dibayar
= Rp 10.000.000,00
Dibayar sampai dengan
jatuh tempo pelunasan = Rp 6.000.000.00
Kurang dibayar
= Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu)
bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) =
Rp 80.000,00
Dalam hal terhadap
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib
Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5
Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga
dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus
dibayar =
Rp 10.000.000.00
Dibayar setelah jatuh
tempo pelunasan =
Rp 10.000.000.00
Kurang dibayar =
Rp
0,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp10.000.000,00) =
Rp 200.000,00
Contoh berdasarkan
penjelasan Pasal 19 Ayat (2) KUP
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal 2
Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib
Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam
jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000,00.
Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai
berikut:
angsuran
ke-1 : 2% x Rp1.120.000.00 =
Rp 22.400,00.
angsuran
ke-2 : 2% x Rp 896.000.00 =
Rp 17.920,00.
angsuran
ke-3 : 2% x Rp 672.000,00 =
Rp 13.440,00.
angsuran
ke-4 : 2% x Rp 448.000.00 =
Rp 8.960.00.
angsuran
ke-5 : 2% x Rp 224.000,00 =
Rp 4.480,00.
Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak
sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Sanksi administrasi berupa bunga atas
penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2%
x Rp1.120.000,00= Rp112.000.00.
Contoh berdasarkan
penjelasan Pasal 25 Ayat (9) KUP
Untuk tahun pajak 2008, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00
diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib
Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp
200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar
Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya.
Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan
jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam
hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x
(Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.
Contoh berdasarkan
penjelasan Pasal 27 Ayat (5d) KUP
Untuk tahun pajak 2008, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00
diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib
Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp
200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar
Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya.
Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan
jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak
diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar
Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak
dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai
dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000.00) =
Rp250.000.000,00.
MENGENAL SANKSI PAJAK
Pengetahuan tentang sanksi dalam
perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih
menerapkan self assessment system dalam rangka pelaksanaan
pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan
untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat
menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan
pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar
pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan,
pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang
berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak
memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak
dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum
tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi
perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak
memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari
apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran
mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi
perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan
dan perihal pengenaannya.
Ada 2 macam
Sanksi perpajakan
1.
Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a.
Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang
paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat
ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari
jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi
denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai
sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.
b.
Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga
dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar.
Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai
dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima
dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam
menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang
pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga
dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara
tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak
hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam
surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat
ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga utang
pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya
dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1
(satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.
c.
Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi
sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh
wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang
harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya
dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang
dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi
kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan
informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.
2.
Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi
pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana.
UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya
terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan
keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak
yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi
pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah
tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya
tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang
perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja,
lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah
tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut
setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung
sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun
pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu
10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen
perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu
selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia,
ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai
hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur
sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi
berupa denda, walaupun tidak selalu ada.