Jumat, 28 Maret 2014

MENGURAIKAN SISTEM DAN PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)



UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
2014

Follow Us : @FEUSNI






MENGURAIKAN SISTEM DAN PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
1.    Pengertian penelitian
a.    Pengertian penelitian
b.    Tata cara melakukan penelitian
c.    Pengertian Surat Tagihan Pajak (STP)

2.    Pembeda Surat Tagihan Pajak (STP)
a.    STP Bunga
b.    STP Denda
c.    STP Pajak
d.    Pengertian pajak dalam pasal 14 ayat 1 huruf a
e.    Pengertian pajak dalam pasal 14 ayat 1 huruf b
f.     Sanksi terkait

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat padat. Dimana setiap warga negara yang memenuhi syarat secara hukum, wajib untuk membayar pajak secara langsung maupun tidak langsung. Apabila semua wajib pajak bersedia memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak, tentunya akan semakin besar pula pendapatan yang masuk dari sektor pajak. Karena sumber pendapatan terbesar Indonesia berasal dari sektor pajak. Untuk meningkatkan penerimaan Pajak diperlukan adanya peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat di bidang perpajakan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.. Dalam Undang-Undang tersebut dikenalkan sistem pemungutan pajak yang baru yaitu self assessment sistem yang mulai berlaku pada tahun 1984. Dengan sistem tersebut bertujuan memberikan kepercayaan sebesar-besarnya kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta Wajib Pajak dalam  memenuhi kewajibannya dibidang perpajakan.
Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut pengamatan penulis ada dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan materiil.
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan formal dalam undang-undang perpaja-kan. Kepatuhan materiil adalah keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakikat memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai isi undang-undang perpajakan.
Eksistensi SPT dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment merupakan suatu hal yang mutlak, sebab tanpa SPT maka sistem perpajakan yang menganut self assessment akan berubah menjadi official assessment,  dimana perhitungan jumlah pajak yang terutang hanya akan didasarkan pada perkiraan fiskus semata-mata. Penetapan Pajak oleh fiskus dalam kondisi karena Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT walaupun telah ditegur dan diperingatkan disebut sebagai penetapan secara jabatan atau  penetapan secara ex-officio. Jika Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT tepat pada waktunya diancam dengan sanksi administrasi berupa denda administrasi. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar diancam dengan sanksi pidana.  Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan hukum atau tax evasion. Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of  income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan ini melanggar baik jiwa atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang perpajakan.
Dalam system self assessment, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sebagai konsekuensi pemberian kepercayaan tersebut, wajib pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan berikut keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan yang telah diisi secara benar, lengkap dan jelas. Undang-undang KUP memberikan wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan wewajibkan instansi, pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini memunginkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan  yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar.
Di samping itu negara kita dituntut untuk terus melakukan perbaikan disegala bidang salah satunya adalah dengan terus melakukan pembangunan.yang dananya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Komposisi APBN terdiri dari Penerimaan Dalam  Negeri dan Penerimaan Pembangunan. Pendapatan Dalam  Negeri terdiri dari pendapatan dari sektor migas dan nonmigas, Sedangkan penerimaan pembangunan terdiri bantuan program.
Berbagai strategi diupayakan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, baik peraturan perundang-undangan perpajakan, sistim pemungutan pajaknya, maupun aparatur pajaknya dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak.
Peraturan perpajakan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1984 mengalami perubahan secara total dan menyeluruh dalam Undang-Undang Perpajakan Nasional yang dikenal dengan Tax Reform yang melahirkan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang tersebut dikenalkan sistim pemungutan pajak yang baru yaitu self assessment system yang mulai berlaku pada tahun 1984. Sistem self assessment mengharuskan Wajib Pajak (WP) untuk mendaftarkan diri pada Kantor Dirjen Pajak setempat untuk dicatat dan mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Selanjutnya Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk secara aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya melalui Surat Pemberitahuan (SPT). SPT ini dapat diambil oleh Wajib Pajak secara cuma-cuma. Pemberlakuan sistem ini bertujuan memberikan kepercayaan sebesar-besarnya kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya dibidang perpajakan. Tujuan lain dari pemberlakuan sistem ini adalah untuk menghindari pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang terlalu membebani Wajib Pajak.Konsekuensi dari diberlakukannya sistem ini, masyarakat dituntut untuk benar-benar mengetahui dan memahami tatacara penghitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajaknya. Sebagai contoh adalah bagaimana menghitung besarnya pajak terutang, kepada siapa pajak dibayarkan, apa yang terjadi jika salah hitung dan bagaimana tindak lanjut untuk mengatasinya, serta sanksi apa saja yang diberikan apabila melanggar ketetapan perpajakan.

Kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu  kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, dan tarif pajak (Devano dan Rahayu, 2006).


MENGURAIKAN SISTEM DAN PROSEDUR SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)

A. PENGERTIAN PENELITIAN
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulis dan penghitungannya. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.

B.  TATA CARA MELAKUKAN PENELITIAN

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak setelah meneliti data administrasi perpajakan atau setelah melakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak.

C.  PENGERTIAN SURAT TAGIHAN PAJAK

Pengertian STP ( Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 ) STP adalah surat yang digunakan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
Fungsi STP :

1.    Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak.
2.    Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.
3.    Sarana untuk menagih pajak.

Jenis administrasi yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak: 
1.   Denda administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh dan.

  1. Denda administrasi bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
  2. Denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha yang tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, PKP yang tidak membuat atau tidak lengkap mengisi Faktur Pajak.
  3. Bunga, bagi Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan sehingga mengakibatkan kurarng bayar.
  4. Bunga, bagi Wajib Pajak yang terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya.

Pembeda STP

Apa yang menyebabkan dikeluarkannya STP?
Sebab Dikeluarkannya STP : (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).

  1. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar .
  2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung.
  3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.
  4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.


Surat Tagihan Pajak Bunga

Surat Tagihan Pajak (STP) Bunga/Denda Penagihan bisa dikatakan sebagai bunga atas bunga, kenapa? karena dasar pengenaan STP adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding danPutusan Peninjauan Kembali yang dalam nilai ketetapan tersebut telah mengandung unsur sanksi administrasi berupa bunga.

STP Bunga/Denda Penagihan adalah timbul apabila : i) pajak yang masih harus dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, ii) Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran/pelunasan utang pajak, iii) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan iv) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian.

Dasar hukum pengenaan STP Bunga/Denda Penagihan

1. Pasal 19 Ayat (1)
 “Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bungasebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.
 2. Pasal 19 Ayat (2)
“Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.


 3. Pasal 25 ayat (9)
“Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.
 4. Pasal 27 Ayat (5d)
“Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.

Berdasarkan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 25/PJ/2008 Tentang Bentuk Dan Isi Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak Dan Surat Tagihan Pajak, bagian petunjuk pengisian nota perhitungan STP Bunga/Denda Penagihan, peruntukan Pasal 19 ayat (1) KUP dan Pasal 19 Ayat (2) KUP adalah untuk menghitung STP Bunga Penagihan dari SKPKB atau SKPKBT yang terlambat dan/atau kurang bayar atau mendapat ijin untuk mengangsur atau menunda pembayaran/pelunasan utang pajak atau SK Keberatan, Put.Banding dan Put.Peninjauan Kembali tahun pajak sebelum tahun 2008. Sedangkan Pasal 25 Ayat (9) KUP dan Pasal 27 Ayat (5d) KUP adalah untuk mengenakan denda atas Surat Keputusan Keberatan tahun pajak 2008 dst. atau Putusan Banding tahun pajak 2008 dst. yang ditolak atau diterima sebagian.


Saat jatuh tempo pembayaran pajak adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan SKPKB atau SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali. Tarif sanksi bunga adalah 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Jika jumlah bulan untuk menghitung sanksi bunga dalam SKP/STP adalah maksimal 24 bulan, maka dalam menghitungan sanksi bunga penagihan jumlah bulan yang dapat diperhitungkan tidak dibatasi, artinya dapat lebih dari 24 bulan tergantung kapan Wajib Pajak melunasi utang pajaknya atau kapan pengenaan sanksi bunga tersebut dibuat. Saat pembuatan STP Bunga Penagihan adalah Bulan Juni dan Desember dalam setiap satu tahun dua kali.
 Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU No. Tahun 2009 tentang KUP pengenaan sanksi bunga penagihan hanya dapat dikenakan kepada  SKPKB atau SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Put. Banding dan Put. Peninjauan Kembali, sedangkan atas STP (misal atas STP Pasal 25)  tidak dapat dikenakan sanksi bunga penagihan.

Contoh  berdasarkan penjelasan Pasal 19 Ayat (1) KUP
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar                                     = Rp 10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan             = Rp   6.000.000.00
Kurang dibayar                                                                = Rp    4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00)           = Rp         80.000,00

Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar                                            = Rp    10.000.000.00
Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan                                 = Rp    10.000.000.00
Kurang dibayar                                                                       = Rp                    0,00

Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00)                = Rp         200.000,00




Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 19 Ayat (2) KUP
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib  Pajak tersebut diperbolehkan  untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:

angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000.00                   = Rp 22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp   896.000.00                  = Rp 17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp   672.000,00                  = Rp 13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp   448.000.00                  = Rp   8.960.00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp   224.000,00                  = Rp   4.480,00.

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00= Rp112.000.00.
Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 25 Ayat (9) KUP
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan  jumlah  pajak  yang  masih  harus  dibayar  sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.

Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 27 Ayat (5d) KUP
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan  jumlah  pajak  yang  masih  harus  dibayar  sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000.00) = Rp250.000.000,00.

MENGENAL SANKSI PAJAK
Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka  pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.


Ada 2 macam Sanksi perpajakan
1.   Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a.   Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari     jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.

 b. Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.


 
c.   Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.


 
2.   Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.



Kamis, 27 Maret 2014

MANAJEMEN KREDIT

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDOESIA
FAKULTAS EKONOMI
2014

Follow Us : @FEUSNI







PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah

Dengan semakin berkembangnya suatu kegiatan perekonomian atau perkembangan suatu kegiatan usaha dari suatu perusahaan, maka akan dirasakan perlu adanya sumber-sumber untuk penyediaan dana guna membiayai kegiatan usaha yang semakin berkembang tersebut. Untuk itu bank memiliki peranan yang sangat penting dalam memajukan perekonomian suatu Negara.
            Adapun kegiatan bank yang kedua setelah menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan giro, tabungan dan deposito adalah menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa keuntungan utama dari bisnis perbankan adalah selisih antara bunga yang diterima dari alokasi dana tertentu.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan ditegaskan bahwa “Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus dapat memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.
Dalam hal ini diperlukan suatu manajemen kredit yang merupakan pengelolaan kredit yang baik mulai dari perencanaan jumlah kredit, penentuan suku bunga, prosedur pemberian kredit, analisis pemberian kredit sampai kepada pengendalian dan pengawasan kredit yang macet (Kasmir, 2002:71-72 ). Manajemen perkreditan bank adalah suatu hal yang penting untuk mengoptimalkan kinerja bank untuk memaksimalkan profit atas sektor perkreditannya. Dengan kata lain manajemen perkreditan perbankan adalah manajemen piutang pada perusahaan umum.
Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditannya bank wajib mematuhi kebijaksanaan perkreditan yang telah dibuat tersebut secara konsekuen dan konsisten.  Kebijaksanaan perkreditan harus sudah diterapkan dan dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 januari 1996. Bagi Bank yang telah mempunyai pedoman tersebut dengan memperhatikan semua aspek-aspek tersebut di atas. Sedangkan bagi Bank yang baru memperoleh izin usaha wajib memiliki dan menerapkan serta melaksanakan kebijaksanaan perkreditan sejak memulai melakukan kegiatan usahanya.
Apabila dalam pelaksanaannya ternyata bank memberikan kredit tidak sesuai dengan kebijaksanaan perkreditan yang telah ditetapkannya, maka Bank Indonesia akan memberikan sanksi yang mempengaruhi penilaian kesehatan bank dan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B.    Rumusan Masalah  

1.      Apa itu manajemen kredit dan jenisnya?
2.      Apa saja prinsip dari manajemen kredit?
3.      Apa saja prospek dalam pemberian kredit tersebut?
4.      Apa saja jaminan dalam pemberian kredit?

PEMBAHASAN
1.        Pengertian Kredit Dan Jenisnya
Kredit dalam artian luas berarti Kepercayaan. Kredit dalam bahasa latin berarti “credere” yang berarti percaya. Maksud dari percaya bagi sipemberi kredit adalah ia percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi sipenerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.
Kredit menurut Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan undang – undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan kredit  adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yaitu mewajibkan pihak peminjaman untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dalam pengertian kredit diatas terkandung unsur-unsur kredit itu sendiri,yaitu:

1.      Waktu, yaitu adanya jarak antara saat persetujuan pemberian kredit dan pelunasannya. Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang.
2.          Kepercayaan yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu di masa datang. Yang melandasi pemberian kredit oleh kreditur/Bank kepada debitur, yaitu kredit akan dikembalikan setelah jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan yang disetujui kedua belah pihak. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, di mana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah baik cara interen maupun eksteren. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.

3.         Penyerahan atau objek, dimana pihak kreditur menyerahkan nilai ekonomi atau objek berupa uang atau tagihan kpd debitur yg harus dikembalikan setelah jatuh tempo.

4.        Risiko adalah suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu resiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit yang mungkin timbul sepanjang jangka waktu kredit. semakin panjang suatu kredit semakin besar resikonya demikian pula sebaliknya. Resiko ini menjadi tanggungan bank, baik resiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh resiko yang tidak sengaja. Misalnya terjadi bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsure kesengajaan lainnya.

5.          Kreditur dan Debitur, yaitu antara kreditur dan debitur terdapat suatu persetujuan/ perjanjian pinjam meminjam uang yang dibuktikan dengan suatu akta perjanjian dan masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.

6.                  Balas jasa, merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank. Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil.



Selain unsur-unsur diatas, dalam suatu kredit juga dapat melibatkan beberapa pihak lainnya, seperti Notaris, Appraisal/Perusahaan penilai agunan, Perusahaan Asuransi, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Lembaga Fiducia/Departemen Kehakiman, Kantar Badan Pertanahan (BPN), dan lain lain.
            Adapun tujuan utama pemberian suatu kredit adalah sebagai berikut:
1.      Mencari keuntungan
Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hasil tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas  jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk untuk kelangsungan hidup bank yang terus-menerus menderita kerugian, maka besar kemungkinan bank tersebut akan dilikuidasi (dibubarkan).

2.      Membantu usaha nasabah
Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluaskan usahanya.

3.      Membantu pemerintah
Keuntungan bagi pemerintah dengan menyebarkan pemberian kredit adalah sebagai berikut:
      A.        Penerimaan pajak, dari keuntungan yang diperoleh nasabah dan bank.
B.        Membuka kesempatan kerja, dalam hal ini untuk kredit pembangunan usaha baru atau perluasan usaha akan membutuhkan tenaga kerja baru sehingga dapat menyedot tenaga kerja yang masih menganggur.
C.        Meningkatkan jumlah barang dan jasa, jelas sekali bahwa sebagian besar kredit yang disalurkan akan dapat meningkatkan jumlah barang dan jasa yang beredar di masyarakat
Menghemat devisa Negara, terutama untuk produk-produk yang sebelumnya diimpor dan apabila sudah dapat diproduksi di dalam negeri dengan fasilitas kredit yang ada jelas akan dapat menghemat devisa Negara.
D.        Meningkatkan devisa Negara, apabila produk dari kredit yang dibiayai untuk keperluan ekspor.

Kemudian di samping tujuan diatas suatu fasilitas kredit memiliki fungsi sebagai berikut:
1.      Untuk meningkatkan daya guna uang
Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.

2.      Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.

3.      Untuk meningkatkan daya guna barang
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur untuk mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat.

4.      Meningkatkan peredaran barang
Kredit dapat pula menambah atau atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga jumlah barang yag beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar.

5.      Sebagai alat stabilitas ekonomi
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. Kemudian dapat pula kredit membantu dalam mengekspor barang dari dalam negeri ke luar negeri sehingga meningkatkan devisa Negara.

6.      Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan.

7.      Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan, akan semakin baik terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Di samping itu, bagi masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat meningkatkan pendapatannya seperti membuka warung atau menyewa rumah kontrakan atau jasa lainnya.

8.      Untuk meningkatkan hubungan Internasional
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit. Pemberian kredit oleh Negara lain akan meningkatkan kerja sama di bidang lainnya.

            Dalam praktik perbankan di Indonesia, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, penentuan besarnya kredit dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a)      Reserve Requirement (RR)
Reserve Requirement adalah ketentuan bagi setiap bank umum untuk menysihkan sebagian dari dana pihak ketiga yang berhasil dihimpunnya dalam bentuk giro wajib minimum berupa rekening giro bank yang bersangkutan pada bank Indonesia.

b)   Loan to Deposit Ratio (LDR)
Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber.

c)   Batas Maksimum Pemberian Kredit
Batas maksimum pemberian kredit adalah ketentuan tentang tidak diperbolehkannya suatu bank untuk memberikan kredit (baik kepada nasabah tunggal maupun kepada nasabah grup) yang besarnya melebihi 20% dari besarnya modal bank yang bersangkutan.

d)  Portfolio Investment
Prioritas terakhir di dalam alokasi dana bank adalah dengan mengalokasikan sejumlah dana tertentu pada investasi portfolio (portfolio investment). Alokasi dana bank ke dalam kategori ini adalah dana sisa (residual fund) setelah penanaman dana dalam bentuk pinjaman (kredit) telah memenuhi kriteria atau target tertentu.

Jenis- jenis manajemen kredit
Jenis kredit dilihat dari segi kegunaan :
  1. Kredit investasi Yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan barang modal maupun jasa yangdimaksudkan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa bagi usaha yang bersangkutan.Kredit ini diberikan kepada perusahaan yang baru akan berdiri untuk keperluan membangun pabrik baru.
  2. Kredit modal kerja Yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha, termasuk gunamenutupi biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan. Kredit inidiberikan kepada perusahaan yang telah berdiri, namun membutuhkan dana untuk meningkatkan produksi dalam operasionalnya. Misalnya dalam hal membayar gaji pegawai atau unutk membeli bahan baku.

Jenis kredit dilihat dari segi tujuan kredit
  1. Kredit  Produktif
Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasikan barang atau jasa. Contoh kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan menghasilkan barang, kredit pertanian akan menghasilkan produk  pertanian atau kredit pertambangan menghasilkan bahan tambang atau kredit industri lainnya.

  1. Kredit Konsumtif 
Adalah kredit yang diberikan digunakan untuk konsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini tidak akan menembah barang atau jasa yang dihasilkan karena memang untuk digunakan ataudipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai contoh kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah tangga, kredit komsumsi lainnya.
  1. Kredit Perdagangan
Kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli barang dagang yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada supplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar. Contoh kredit ini misalnya kredit ekspor dan impor.

Kredit Ditinjau Dari Segi Jangka Waktu

1.                  Kredit jangka pendek Yaitu suatu kredit yang diberikan tidak melebihi jangka waktu 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja. Contohnya untuk peternakan misalnya kredit peternakan ayam atau jika untuk pertanian misalnya tanaman padi atau palawija.

2.         Kredit jangka menengah Yaitu suatu kredit yang diberikan dengan jangka waktu 1 ± 3 tahun, biasanya untuk investasi. Sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti jeruk atau peternakan kambing.

3.         Kredit jangka panjang Yaitu suatau kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 3 tahun. Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufactur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.


Kredit Ditinjau Dari Segi Jaminannya

1.         Kredit dengan jaminan Adalah suatu kredit yang diberikan dengan suatu jaminan, baik berupa barang / benda berwujud atau tidak berwujud, dan atau jaminan orang. Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan calon debitur.
2.         Kredit tanpa jaminan Adalah suatu kredit yang diberikan tanpa jaminan baik berupa barang / benda berwujud atau tidak berwujud, dan atau jaminan orang. Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan karakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama ini.

Kredit Dilihat Dari Sector Usaha:

1.                  Kredit pertanian, merupakan kredit yang dibiayai untuk sector perkebunan atau pertanian rakyat.

2.                  Kredit peternakan, dalam hal ini untuk jangka pendek misalnya peternakan ayam dan jangka panjang kambing atau sapi.

3.                  Kredit industry, yaitu kredit untuk membiayai industru kecil, menengah atau besar.

4.                  Kredit pertambangan, jenis usaha tambang yang dibiayainya biasanya dalam jangka panjang, seperti tambang emas, minyak atau timah.

5.                  Kredit pendidikan, merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk para mahasiswa.

6.                  Kredit profesi, diberikan kepada para professional seperti dokter,dosen dan pengacara.

7.                  Kredit perumahan, yaitu kredit yang membiayai pembangunan atau pembelian perumahan.


2.                       PRINSIP PEMBERIAN KREDIT

Dalam dunia perbankan prinsip analisis kredit dikenal dengan konsep 5C; yaitu :
1.                  Character
Tingginya respek pelanggan terhadap kewajibannya, dilihat dari karakter manajemen perusahaan debitur. Karakter ini merupakan suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang besifat latar belakang pribadi. 
2.                    Capacity
Kemampuan pelanggan membayar kewajiban berdasarkan aspek likuiditas & proyeksi aliran kas. Pada analisa ini bank berusaha mengetahui kemampuan manajemen mengoperasikan perusahaannya sehingga dapat memenuhi kewajibannya terhadap bank secara rutin dan pada saat jatuh tempo. Kapasitas ini menunjukkan kemampuan riil dari perusahaan untuk merealisasikan rencana yang telah dibuatnya.
3.                  Capital
Posisi keuangan perusahaan yang ditunjukkan oleh rasio keuangan & besarnya modal sendiri. Analisis aspek capital ini meliputi struktur modal yang disetor, cadangan-cadangan dan laba yang ditahan dalam struktur keuangan perusahaan. Besarnya modal sendiri ini menunjukkan tingkat resiko yang ikut dipikul oleh debitur dalam pembiayaan suatu proyek.
4.                  Collateral
Aset milik pelanggan yang dijadikan jaminan, seperti surat  berharga. Penilaian ini meliputi penilaian terhadap jaminan yang diberikan debitur sebagai pengaman kredit yang diberikan bank. Penilaian tersebut meliputi kecenderungan nilai jaminan di masa depan dan tingkat kemudahan mengkonversikannya menjadi uang tunai (marketability).
5.                  Condition
Kondisi ekonomi secara umum yang memengaruhi kebijakan ekonomi perusahaan. Analisis terhadap aspek ini meliputi analisis terhadap variabel ekonomi makro yang melingkupi perusahaan baik variabel regional, nasional, maupun internasional. Variabel yang diperhatikan terutama adalah variabel ekonomi (walaupun tidak terlepas juga bank perlu memperhatikan variabel lainnya seperti kondisi politik, perundang-undangan, dan lain-lain).

Selain konsep/prinsip 5C tersebut di atas dalam prakteknya bank juga seringkali menetapkan dasar penilaian lain yang sering disebut dengan prinsip 7P dan prinsip 3R  yaitu:
1.                                           Personality
Bank mencari data tentang kepribadian calon debitur seperti riwayat hidupnya (kelahiran, pendidikan, pengalaman, usaha/pekerjaan, dan sebagainya), hobi, keadaan keluarga (istri, anak),social standing (pergaulan dalam masyarakat serta bagaimana pendapat masyarakat tentang dirisi peminjam), serta hal-hal lain yang erat hubungannya dengan kepribadian si peminjam.
2.                  Parti
Bertujuan mengklasifikasi calon debitur berdasarkan modal, loyalitas, dan karakternya.Pengklasifikasian ini akan menentukan perlakuan bank dalam hal pemberian fasilitas.
3.                  Purpose
Mencari data tentang tujuan atau keperluan penggunaan kredit. Apakah akan digunakannya untuk berdagang, atau untuk membeli rumah atau untuk tujuan lainnya. Selain itu apakah tujuan penggunaan kredit itu sesuai dengan line of business kredit yang bersangkutan.Misalnya, tujuan atau keperluan kredit untuk perkapalan sedangkan line of business bank dalam bidang pertanian.
4.                  Prospect
Yang dimaksud dengan prospect adalah harapan masa depan dari bidang usaha atau kegiatan usaha si peminjam. ini dapat diketahui dari perkembangan usaha peminjam selama beberapa bulan/tahun, perkembangan keadaan ekonomi perdagangan, keaadaan ekonomi/perdagangan sektor usaha si peminjam, kekuatan keuangan perusahaan yang dibuat dariearning power (kekuatan pendapatan/keuntungan) masa lalu dan perkiraan masa mendatang.

5.                                      Payment
Mengetahui bagaimana perkiraan pembayaran kembali pinjaman yang akan diberikan.Hal ini dapat diperoleh dari perhitungan tentang prospek, kelancaran penjualan dan pendapatansehingga dapat diperkirakan kemampuan pengembalian pinjaman ditinjau dari waktu serta jumlah pengambilannya.
6.                  Profitability
Menilai berapa tingkat keuntungan yang akan diraih calon debitur, bagaimana polanya, apakah makin lama makin besar atau sebaliknya.
7.                  Protection

Menilai bagaimana calon debitur melindungi usaha dan mendapatkan perlindungan usaha. Apakah dalam bentuk jaminan barang, orang atau asuransi.

Konsep Prinsip 3R 
Tiga komponen dalam prinsip 3R adalah:
  1. Tingkat pengembalian usaha (return)
  2.  Kemampuan membayar kembali (repayment)
  3. Kemampuan menanggung resiko (risk bearing ability)
Tujuh unsur dalam konsep 7P sebenarnya mempunyai kesamaan dengan lima unsur dalam 5C. Misalnya unsur kepribadian memiliki kesamaan dengan unsur karakter. Sedangkan unsur tujuan, prospek, dan pembayaran dapat memperjelas unsur kapasitas dalam konsep 5C.Unsur perlindungan dalam 7P mungkin dapat disamakan dengan kollateral dalam konsep 5C.

3.   PROSPEK PEMBERIAN KREDIT
1.        Pengajuan berkas-berkas
Dalam hal ini permohonan kredit mengajukan permohonan kredit yang dituangkan dalam suatu proposal, kemudian dilampiri dengan berkas-berkas lainnya yang dibutuhkan. Pengajuan proposal kredit henfaknya yang berisi antara lain sebagai berikut:
1.      Latar belakang perusahaan
2.      Maksud dan tujuan
3.      Besarnya kredit dan jangka waktu
4.      Cara permohonan mengembalikan kredit
5.      Jaminan kredit
6.      Akte notaries
7.      TDP (tanda daftar perusahaan)
8.      NPWP (nomor pokok wajib pajak)
9.      Neraca dan laporan rugi laba 3 tahun terakhir
10.  Bukti diri dari pimpinan perusahaan
11.  Foto copy sertifikat jaminan

2.             Penyelidikan berkas pinjaman
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah berkas yang diajukan sudah lengkap sesuai persyaratan dan sudah benar.jiak menurut pihak perbankan belum lengkap atau cukup, maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya dan apabila sampai batas tertentu nasabah tidak sanggup melengkapi kekurangan tersebut, maka sebaiknya permohonan kredit dibatalkan saja

3.             Wawancara 1
Merupakan penyidikan kepada calon peminjam dengan langsung berhadapan dengan calon peminjam, untuk meyakinkan apakah berkas-berkas tersebut sesuai dan lengkap seperti dengan yang diinginkan. Wawancara ini juga untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan nasabah yang sebenarnya. Hendaknya dalam wawancara ini dibuat serileks mungkin sehingga diharapkan hasil wawancara akan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
4.             On the spot
Merupakan kegiatan pemeriksaan ke lapangan dengan meninjau berbagai objek yang akan dijadikan usaha dan jaminan. Kemudian hasil on the spot dicocokkan dengan hasil wawancara I. pada saat hendak melakukan on the spot hendaknya jangan diberitahu kepada nasabah. Sehingga apa yang kita lihat di lapangan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
5.             Wawancara 2
Merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika mungkin ada kekurangan-kekurangan pada saat setelah dilakukan on the spot dilapangan. Catatan yang ada pada permohonan dan pada wawancara I dicocokkan dengan pada saat on the spot apakah ada kesesuaian dan mengandung suatu kebenaran.

6.             Keputusan kredit
Keputusan kredit dalam hal ini adalah menentukan apakah kredit akan diberikan atau ditolak, jika di terima maka akan disiapkan administrasinya, biasanya keputusan kredit yang akan mencakup.
a.              Jumlah uang yang diterima
b.             Jangka waktu kredit
c.              Biaya-biaya yang harus dibayar

7.                  Penandatanganan akad kredit/ perjanjian lainnya

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya kredit, maka sebelum kredit dicairkan maka terlebih dulu calon nasabah menandatangani akad kredit, mengikat jaminan dengan hipotek dan surat perjanjian atau pernyataan yang dianggap perlu. Penandatanganan dilaksanakan:
a.                  Antara bank dengan debitur secara langsung atau
b.                  Dengan melalui notaris

8.                  Realisasi kredit
Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang bersangkutan.
9.                  Penyaluran atau penarikan dana
adalah pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi dari pemberian kredit dan dapat diambil sesuai ketentuan dan tujuan kredit yaitu sekaligus atau secara bertahap.

4.    JAMINAN KREDIT

DENGAN JAMINAN
1)      Jaminan benda berwujud yaitu barang-barang yang dapat dijadikan jaminan seperti tanah,bangunan, kendaraan bermotor, peralataan, brang dagangan,tanaman, kebun dan sawah
2)      Jaminan benda tak berwujud, yaitu merupakan surat-surat yang dijadikan jaminan seperti sertifikat saham, sertifikat obligasi, sertifikat tanah, sertifikat deposito, rekening tabungan yang dibekukan,  rekening giro yang dibekukan, promnes, wesel dan surat tagihan lainnya
3)      Jaminan orang, yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan apabila kredit tersebut macet, maka orang memberikan jaminan itulah yang menanggung resikonya.




TANPA JAMINAN
Maksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan bukan dengan jaminan barang tertentu. Biasanya diberikan untuk perusahaan yang memang benar-benar bonafit dan professional sehingga kemungkinan kredit tersebut macet sangat kecil. Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan objek jaminan, dan lain sebagainya.

1.                  Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakanoleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal 1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fiducia.

2.                  Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditur. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur akan menjadi jaminan pelunasan atasutang debitur kepada semua kreditur. Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupunyang baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah perjanjian utang piutang diadakan. Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditur, maka diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang diutamakan ataudidahulukan daripada kreditur kreditur lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan perlindungan kepada kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenaihal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi pemegangnya.





3.                  Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur,dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan(contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, dan lain-lain). Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap hartakekayaan debitur umumnya   (contoh: borgtocht). Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan ataukarena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak. Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.














BAB III
PENUTUP

  KESIMPULAN
  1. Pemahaman masing-masing jenis usaha yang akan dibiayai dengan kredit, hal ini dapat dimengerti bahwa dimasyarakat terdapat ribuan usaha yang mengandung permasalahan yang satu sama lainnya jelas berbeda, sedangkan di lain pihak aparat perbankan tetap dituntut untuk selalu akrab dengan permasalahan-permasalahan tersebut.
  2. Masalah perkreditan bersifat “ Kasuasistis” artinya masalah yang ada pada satu debitur akan berbeda dengan debitur lainnya, dari kondisi ini maka aparat perbankan harus mempunyai daya analistis yang cukup tajam dan secara cepat harus mampu pula mengadakan identifikasi dari permasalahan yang dihadapi para nasabahnya.
  3. Dalam kegiatan perkreditan banyak tersangkut dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan, peraturan-peraturan pemerintah maupun kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering berubah dari suatu periode ke periode yang lainya.














DAFTAR PUSTAKA

Kasmir, SE.MM.2008.Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.Jakarta:PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.